Tanah Masa Lalu

13
2 min readJun 14, 2023

Kala mesra jemari kecilku bermain dengan gumpalan tanah

Tanahku nang indah mewujud loka dewata nirwabah

Lihai membangun panji-panji, diramu mimpi-mimpi

Bibirku yang berani curahkan asin relung yang bergejolak. Berapi-api.

“Kenapa tak ada lomba membangun istana, Eyang? Sakit rasanya tiap gemeletuk gigiku beradu kuat dengan gagang sendok besi dan kerupuk.”

Selajur tangannya yang dibalut tenang membuai huru-hara di kepala

“Sebab istananya sudah dibangun begitu pandai; tiada tanding dan kokohnya, Sayang. Itu sungguh kuat yang tak akan lapuk.”

Ah, aku kecil teringat perihal istana dan orang-orangnya

“Presiden ada di dalamnya, ‘kan, Eyang? Kalau aku jadi presiden, bisakah aku buat istanaku seorang diri?

“Ratusan juta jiwa ada di dalamnya, tetapi hanya sekadar hidup atau menghirup. Ya, buatlah istanamu yang paling sejahtera: semegah-megahnya, sekaya-kayanya hingga cukup naungkan mereka yang hidup merintih nun di penghujung sana. Janganlah buat mereka meneriakkan namamu dalam riak amarah dan kecewa. Sayangku, sesungguhnya kamu adalah yang kelak berteriak keadilan dengan amanah berkuasa, bukan berdusta.”

Aku yang kecil menjelma monster tanah mungil dipaku gagu

Tuntas pilon atas semua senandung beruntun, pantang mengerti

Akhirnya, hari ini kutahu

Ia yang mengawal lahirku, melatih tumbuhku

Ingin lihat aku mengalir dengan tiap tetes darah di tanah ini sampai nanti-nanti

Tanah Tuhan tersekian, istana Indonesia, yang pernah bersemangat memilih antara merdeka atau mati.

--

--

13

Archive of words and a cup of love; a little bit of hope.