Kala mesra jemari kecilku bermain dengan gumpalan tanah
Tanahku nang indah mewujud loka dewata nirwabah
Lihai membangun panji-panji, diramu mimpi-mimpi
Bibirku yang berani curahkan asin relung yang bergejolak. Berapi-api.
“Kenapa tak ada lomba membangun istana, Eyang? Sakit rasanya tiap gemeletuk gigiku beradu kuat dengan gagang sendok besi dan kerupuk.”
Selajur tangannya yang dibalut tenang membuai huru-hara di kepala
“Sebab istananya sudah dibangun begitu pandai; tiada tanding dan kokohnya, Sayang. Itu sungguh kuat yang tak akan lapuk.”
Ah, aku kecil teringat perihal istana dan orang-orangnya
“Presiden ada di dalamnya, ‘kan, Eyang? Kalau aku jadi presiden, bisakah aku buat istanaku seorang diri?
“Ratusan juta jiwa ada di dalamnya, tetapi hanya sekadar hidup atau menghirup. Ya, buatlah istanamu yang paling sejahtera: semegah-megahnya, sekaya-kayanya hingga cukup naungkan mereka yang hidup merintih nun di penghujung sana. Janganlah buat mereka meneriakkan namamu dalam riak amarah dan kecewa. Sayangku, sesungguhnya kamu adalah yang kelak berteriak keadilan dengan amanah berkuasa, bukan berdusta.”
Aku yang kecil menjelma monster tanah mungil dipaku gagu
Tuntas pilon atas semua senandung beruntun, pantang mengerti
Akhirnya, hari ini kutahu
Ia yang mengawal lahirku, melatih tumbuhku
Ingin lihat aku mengalir dengan tiap tetes darah di tanah ini sampai nanti-nanti
Tanah Tuhan tersekian, istana Indonesia, yang pernah bersemangat memilih antara merdeka atau mati.